Mencermati media sosial di era milenial sekarang tentu banyak hal yang dapat di eksplorasi. Mulai dari manfaat sampai dampaknya, telah banyak mengundang banyak perdebatan. Dalam perkembangannya, ada banyak sekali aplikasi dengan segala variasi tampilan dan macamnya, yang tentunya hadir untuk memanjakan warganet guna berselancar di media sosial, beberapa media yang paling marak digunakan di antero Tanah Air diantaranya adalah seperti Instagram, Youtube, Facebook, Twitter, Gmail, Snapchat, Line, dan masih banyak lainnya.
Dari penggunaan beberapa media sosial tersebut, ada beberapa hal unik (tidak terlalu penting, tapi bermakna luas) yang menarik untuk dikaji dan didiskusikan bersama. Disini penulis, mencoba untuk berfokus dan memerhatikan penggunaan salah satu media sosial yang paling digemari oleh para remaja di Indonesia, apalagi kalau bukan Instagram.
Sejak awal kemunculannya Instagram telah mendapat perhatian dan tanggapan yang positif dari pegiat dunia maya. Menurut Wikipedia, Instagram sendiri adalah sebuah aplikasi untuk berbagi foto dan video yang memungkinkan pengguna mengambil foto, mengambil video, menerapkan filter digital, dan membagikannya ke berbagai layanan jejaring sosial, termasuk milik Instagram. Ada banyak fitur yang ditawarkan oleh Instagram dalam memanjakan para penggunanya, salah satu diantaranya adalah fitur instastory. Instastory kini menjadi bagian yang tak terlepaskan dari Instagram, sebuah fitur yang menjadikan para penggunanya bisa berbagi cerita dalam bentuk video maupun foto dalam berkegiatan sehari-hari.
Dalam upaya memanjakan para penggunanya, Instagram terus berinovasi dalam mengembangkan fitur-fiturnya. Superzoom adalah salah satu dari sekian banyak fitur baru yang dikembangkan. Dalam launchingnya, fitur superzoom ini mendapatkan respon yang sangat baik dari para pengguna Instagram. Hal ini nampak, ketika para user “berbondong-bondong” dalam menggunakan fitur ini. Setiap dari pengguna, berlomba-lomba dalam menampilkan aksi terbaiknya saat menggunakan fitur superzoom ini. Dalam catatan penulis, dari sekitar 190-an Instastory yang di-posting dan muncul di timeline penulis, setidaknya ada sekitar 40-50-an Instastory yang menggunakan fitur superzoom ini per 24 jam. Atau setidaknya sepertiga dari pengguna Instastory menggunakan fitur baru ini.
Namun belakangan ini, para user Instagram mulai abai terhadap fitur baru ini. Tercatat, dari semua Instastory yang muncul di timeline penulis, tidak ada satupun user menggunakan fitur superzoom ini. Apa yang menyebabkan hal ini terjadi? Ada banyak faktor yang menyebabkan kasus ini terjadi. Entah karena alasan teknis, penggunaan media sosial yang mulai menurun, atau bahkan karena faktor psikologi maupun sosiologi si pengguna?
Dari penggunaan beberapa media sosial tersebut, ada beberapa hal unik (tidak terlalu penting, tapi bermakna luas) yang menarik untuk dikaji dan didiskusikan bersama. Disini penulis, mencoba untuk berfokus dan memerhatikan penggunaan salah satu media sosial yang paling digemari oleh para remaja di Indonesia, apalagi kalau bukan Instagram.
Sejak awal kemunculannya Instagram telah mendapat perhatian dan tanggapan yang positif dari pegiat dunia maya. Menurut Wikipedia, Instagram sendiri adalah sebuah aplikasi untuk berbagi foto dan video yang memungkinkan pengguna mengambil foto, mengambil video, menerapkan filter digital, dan membagikannya ke berbagai layanan jejaring sosial, termasuk milik Instagram. Ada banyak fitur yang ditawarkan oleh Instagram dalam memanjakan para penggunanya, salah satu diantaranya adalah fitur instastory. Instastory kini menjadi bagian yang tak terlepaskan dari Instagram, sebuah fitur yang menjadikan para penggunanya bisa berbagi cerita dalam bentuk video maupun foto dalam berkegiatan sehari-hari.
Dalam upaya memanjakan para penggunanya, Instagram terus berinovasi dalam mengembangkan fitur-fiturnya. Superzoom adalah salah satu dari sekian banyak fitur baru yang dikembangkan. Dalam launchingnya, fitur superzoom ini mendapatkan respon yang sangat baik dari para pengguna Instagram. Hal ini nampak, ketika para user “berbondong-bondong” dalam menggunakan fitur ini. Setiap dari pengguna, berlomba-lomba dalam menampilkan aksi terbaiknya saat menggunakan fitur superzoom ini. Dalam catatan penulis, dari sekitar 190-an Instastory yang di-posting dan muncul di timeline penulis, setidaknya ada sekitar 40-50-an Instastory yang menggunakan fitur superzoom ini per 24 jam. Atau setidaknya sepertiga dari pengguna Instastory menggunakan fitur baru ini.
Namun belakangan ini, para user Instagram mulai abai terhadap fitur baru ini. Tercatat, dari semua Instastory yang muncul di timeline penulis, tidak ada satupun user menggunakan fitur superzoom ini. Apa yang menyebabkan hal ini terjadi? Ada banyak faktor yang menyebabkan kasus ini terjadi. Entah karena alasan teknis, penggunaan media sosial yang mulai menurun, atau bahkan karena faktor psikologi maupun sosiologi si pengguna?
Fenomena latah sosial
Mencermati kasus diatas, tentunya bisa dipandang dalam berbagai aspek dan perspektif keilmuan. Dalam pandangan penulis, contoh kasus tersebut merupakan bentuk budaya latah dalam berinteraksi dan bereaksi di media sosial, di lain sisi juga dapat dijadikan sebagai kritik diri kita untuk melihat fenomena yang terjadi di kalangan remaja belakangan ini. Apa yang terjadi di dalam kasus di atas merpakan salah satu bentuk budaya latah di media sosial. Budaya latah juga terjadi pada fenomena-fenomena lainnya yang menjadi tren sesaat di media sosial.
Tentang Latah
Sampai sejauh ini mengenai definisi latah memiliki banyak konotasi, baik di dalam bidang kedokteran, psikologi, psikososial, psikoanalisis, sosial maupun antropologi, namun para ahli sepakat bahwa latah adalah: reaksi sensitif dalam merespon stimulus yang berasal dari luar diri. Apa yang menjadi perdebatan dan pertentangan para ahli adalah, bahwa latah hanya ditemukan di wilayah Asia Tenggara. Oleh karenanya studi mengenai latah menjadi menarik bagi sebagian besar ahli-ahli berbagai disiplin tersebut. Karena latah tidak didapatkan di semua wilayah maka ada asumsi-asumsi yang muncul bahwa latah dapat bersifat genetis maupun budaya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri, latah didefinisikan sebagai seseorang yang menderita penyakit syaraf dengan suka meniru-niru perbuatan atau ucapan orang lain. Istilah ini sering dikonotasikan pada orang-orang yang bersikap maupun berucap secara spontanitas terhadap suatu gerakan maupun suara yang bersifat mengagetkan di luar dirinya. Sehingga aksi fisik maupun verbal yang ia lakukan tidak berasaskan pada kesadaran kritis atau kehendak matang melainkan kesadaran magic atau gila.
Perdebatan mengenai latah oleh para pakar, yang berpendapat sebagai sebuah fenomena kolektif maupun individual sampai hari ini pun masih belum terselesaikan, sebagian ahli percaya bahwa fenomena latah ini bisa terjadi kepada siapapun di dunia ini tanpa melihat faktor-faktor budaya, keterkaitan darah, kelompok, maupun pergaulan. Asumsi tersebut beranjak dari suatu penelitian, yang mana dalam penelitian tersebut ditemukan fakta bahwa fenomena latah juga terjadi bukan hanya dikawasan Asia Tenggara saja, tapi juga terjadi pada suku-suku pedalaman di kawasan Amerika Selatan.
Adapun dari penelusuran para ahli mengenai latah sebagaimana yang diketengahkan oleh Geertz (1968:96), latah awalnya dianggap sebagai bentuk keterpanaan (startling), peniruan, dan sekaligus bentuk pengejekan (mimicry) kepada kaum kolonial yang berbeda secara fisik dengan pribumi. Namun kaum kolonial tersebut lebih superior dari pada kaum pribumi. Geertz menambahkan dari sisi lain latah berkaitan erat dengan faktor budaya, karena latah muncul sebagai bentuk penerimaan individu di ranah sosialnya. Latah merupakan solusi untuk dapat diterima di lingkungan sosial, sebagai ekspresi diri dari kekangan-kekangan sosial seperti; tabu, wacana seksual, kelas dan etnis.
Dari banyaknya pendapat ahli yang dikemukakan, penulis menyimpulkan bahwa latah adalah suatu fenomena sosial yang terjadi kepada suatu individu dalam bertindak dan bereaksi terhadap suatu kejadian dan menjadi suatu kebiasaan, yang dipengaruhi oleh lingkungan baik dalam budaya, keterikatan sosial, maupun pergaulannya dan dilakukan secara spontanitas.
Latah dalam ber-media sosial
Seiring dengan pesatnya arus globalisasi yang juga menstimulus kemajuan teknologi dan arus hegemoni media massa istilah latah juga bertrasformasi menjadi sebuah penyakit akut yang tidak lagi menyerang individu melainkan menghipnotis individu secara kolektif (publik) yang terdorong dalam melakukan kelatahan sosial secara masif. Fenomena latah sosial yang terjadi bukan hanya pada kasus penggunaan superzoom dalam Instagram saja, dan kasus tersebut hanya sebagian kasus kecil saja diantara banyak kasus-kasus yang terjadi, fenomena ini terjadi juga pada aspek-aspek lain dalam bermedia sosial, seperti halnya penggunaan #Hastag dalam mengkampanyekan sesuatu yang dilakukan secara bersama-sama, saling serang-menyerang dalam beradu argument di media sosial, melakukan pem-bully-an masal terhadap seseorang, mencoba viral dengan hal apapun yang dilakukan oleh banyak orang, dan masih banyak hal lainnya sehingga dewasa ini muncul istilah “panjat sosial”. Dari berlangsungnya fenomena ini, yang dikhawatirkan adalah bahwa ada orang-orang yang sebenarnya tidak terlalu paham terhadap suatu konteks yang ia lakukan, namun karena tidak ingin disebut ketinggalan (tidak update) maka dia mencoba untuk mengikuti arus sosial yang entah akan membawanya kemana. Selain itu, perilaku latah sosial telah turut mendukung para pengguna media sosial menjadi berperilaku konsumtif dan hedonisme. Di sisi lain, fenomena latah sosial yang terjadi mengindikasikan bahwa betapa dangkalnya kita dalam berpikir sehingga banyak dari pengguna media massa menjadi “bersumbu pendek”.
Fenomena latah yang terjadi ini, bukan hanya berlangsung di dalam negeri saja melainkan terjadi juga di negara-negara lain. Contoh saja Amerika Serikat, fenomena bullying masal di media sosial kerap terjadi dalam banyak sekali kasus. Terkadang pelaku bullying ini hanya terbawa arus belaka tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi (namun dalam hal apapun bullying tidak pernah dibenarkan sama sekali).
Menariknya, kasus-kasus yang terjadi ini hanya bertahan sesaat saja karena mulai tergantikan oleh kasus dan isu baru lainnya, yang membuat orang-orang lebih tertarik terhadap sesuatu yang baru dan meninggalkan kasus atau trend center yang belum terselesikan. Dalam hal ini Nicholas Carr (2011) mengatakan bahwa internet benar-benar mengubah cara berpikir kita.
Dalam berbagai kasus yang terjadi, agaknya fenomena latah sosial dan saling meniru ini menjadi upaya seseorang atau kelompok untuk mengekspresikan dirinya dari kekangan-kekangan sosialnya (tabu). Atau istilah-istilah yang muncul dalam “melegalkan” aksi ini seperti “kekinian”, “seru-seruan”, “gila-gilaan” dan seterusnya, mengindikasikan keterlibatan aktif seseorang dalam mengikuti wacana yang sedang berkembang.
Dalam perkembangannya peran media sosial tidak hanya berfungsi sebagai suatu media komunikasi belaka, tetapi juga bertujuan sebagai tempat mengekspresikan diri dan mengaktualisasikan diri oleh para penggunanya (wrganet). Namun hal yang penting untuk digaris bawahi adalah, tidak semua perilaku latah sosial menghasilkan tendensi negatif. Latah juga dapat membangun rasa empati dan simpati kita untuk sesama, seperti dalam hal penggalangan dana, kampanye sosial, dukungan terhadap isu-isu sosial, dan hal positif lainnya yang konstruktif.
Dari fenomena latah sosial ini, yang perlu kita cermati adalah tentang bagaimana kita bersikap terhadap suatu fenomena. Kearifan dan kebijakan para pengguna media sosial kembali menjadi kunci utama dalam solusi pemecahan masalah latah sosial ini. setiap dari kita dituntut untuk berpikir secara matang dalam bertindak dan berprilaku di dunia maya, dalam hal apapun, baik yang sifatnya mikro maupun makro.
Referensi:
Geertz, Hildred. 1968. Latah in Java: A Theoretical Paradox. (dalam Kumpulan Jurnal Indonesia No. 5 (April)). Modern Indonesia Project Cornell University: New York.
www.psychecollect.com/2016/05/14/budaya-latah-di-media-sosial/ diakses pada 9 januari 2017 pukul 10.00 WIB
mediatransformasi.id/fenomena-latahisme-sosial/ diakses pada 9 januari 2017 pukul 10.32 WIB
mediatransformasi.id/fenomena-latahisme-sosial/ diakses pada 9 januari 2017 pukul 10.32 WIB
Sumber gambar:
https://www.google.co.id/
Komentar
Posting Komentar