Kebudayaan merupakan suatu landasan berpijak bagi suatu masyarakat, sehingga ia memberikan pedoman bagaimana warga masyarakat bertindak atau berperilaku dalam upaya mencapai tujuan bersama. Atas dasar kebudayaan, masyarakat membentuk prosedur-prosedur yang harus diterapkan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Budaya politik – sebagai unsur dari kebudayaan − merupakan sesuatu yang berkaitan erat pada setiap masyarakat yang terdiri atas sejumlah individu yang hidup, baik dalam sistem politik tradisional, transisional, maupun modern. Hal tersebut dikarenakan, budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan rasionalisasi untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain. Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai sikap individu terhadap sistem politik dan komponen-komponennya, dan juga sikap individu terhadap peranan yang dapat dimainkan dalam sebuah sistem politik. Pengertian budaya politik ini membawa pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu orientasi sistem dan orientasi individu. Sedangkan Sidney Verba berpendapat, budaya politik adalah suatu sistem kepercayaan empirik, simbol-simbol ekspresif dan nilai-nilai yang menegaskan suatu situasi dimana tindakan politik dilakukan. Kemudian Austin Ranney menyatakan bahwa budaya politik adalah seperangkat pandangan-pandangan tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara bersama-sama; sebuah pola orientasi-orientasi terhadap objek-objek politik.
Dari definisi
–definisi tersebut, membuktikan bahwa budaya politik merupakan aspek yang
siginifikan dalam sistem politik. Hal ini dikarenakan bekerjanya struktur dan
fungsi politik dalam suatu sistem politik sangat ditentukan oleh budaya politik
yang melingkupinya. Sebagai faktor yang sangat berpengaruh terhadap perilaku
politik seseorang, kajian terhadap pembangunan politik suatu bangsa tidak bisa
dilepaskan dari budaya politik yang tumbuh dan berkembang di masyarakatnya.
Seberapa besar harmonisasi yang dicapai oleh budaya politik dengan pelembagaan
politik merupakan parameter dari pembangunan politik itu sendiri.
Gabriel Almond
dan Sidney Verba mengklasifikasikan tipe-tipe kebudayaan politik, sebagai
berikut: (1) Budaya politik parokial yang ditandai dengan tingkat partisipasi
politik masyarakat yang sangat rendah. Hal ini disebabkan faktor kognitif,
misalnya tingkat pendidikan masyarakat yang rendah; (2) Budaya politik subyek
di mana anggota-anggota masyarakatnya memiliki minat, perhatian, mungkin pula
kesadaran terhadap sistem secara keseluruhan, terutama terhadap output-nya,
namun perhatian atas aspek input serta kesadarannya sebagai aktor politik,
boleh dikatakan nol; dan (3) Budaya politik partisipan yang ditandai oleh
adanya perilaku bahwa seseorang menganggap dirinya ataupun orang lain sebagai
anggota aktif dalam kehidupan politik sehingga menyadari setiap hak dan
tanggungjawabnya (kewajibannya) dan dapat pula merealisasi dan mempergunakan
hak serta menanggung kewajibannya. Namun demikian, dalam suatu masyarakat
kerapkali ditemukan inklanasi kepada salah satu tipe budaya politik, misalnya,
dalam budaya politik partisipan masih dapat dijumpai individu-individu yang
tidak menaruh minat pada obyek-obyek politik secara luas. Menyadari realitas
budaya politik yang hidup di masyarakat tersebut, Almond menyimpulkan adanya
budaya politik campuran (mixed political culture) yang menurutnya lazim terjadi
pada masyarakat yang senantiasa mengalami perkembangan dan dinamika yang pesat,
sehingga sistem politik bisa berubah dan kultur serta struktur politik
senantiasa tidak selaras. Budaya politik campuran (mixed political culture)
yang dikemukakan Almond sebagai berikut:
a.Budaya Parokial-Subjek (The Parochial-Subject Culture)
Tipe
budaya politik saat sebagian besar penduduk menolak tuntutan-tuntutan ekslusif
masyarakat suku yang feodalistik. Masyarakatnya mengembangkan kesetiaan
terhadap sistem politik yang lebih kompleks dengan struktur-struktur
pemerintahan pusat yang sentralistis.
b.Budaya
Subyek-Partisipan (The Subject-Participant Culture)
Proses
peralihan dari budaya subyek menuju budaya partisipan yang sangat dipengaruhi
oleh cara bagaimana peralihan budaya parokial menuju budaya subyek. Dalam
budaya subyek-partisipan ini, sebagian besar penduduk telah memperoleh
orientasi-orientasi input yang bersifat khusus dan serangkaian orientasi
pribadi yang aktif; sementara sebagian penduduk masih terorientasi dengan
struktur kekuasaan yang otoriter dan menempatkan partisipasi masyarakat pasif.
c.Budaya
Parokial-Partisipan (The Parochial-Participan Culture)
Kondisi
ini biasanya terjadi di dalam negara yang sedang berkembang. Hampir seluruh
negara berkembang memiliki budaya parokial. Karenannya sistem politik mereka
terancam oleh fragmentasi parokial yang tradisional, padahal mereka ingin
secepatnya menjadi sebuah negara modern. Suatu masa, cenderung ke
otoritarianisme dan pada waktu yang lain ke arah demokrasi.
d.Budaya
Parokial-Subyek-Partisipan (Civic Culture)
Civic
culture (budaya kewarganegaraan) menekankan pada partisipasi rasional dalam
kehidupan politik, digabungkan dengan adanya kecenderungan politik parokial dan
subyek warganegara maka menjadikan sikap-sikap tradisional dari penggabungannya
dalam orientasi partisipan yang mengarah pada suatu budaya politik dengan
keseimbangan aktivitas politik, keterlibatan dan adanya rasionalitas serta
kepasifan, tradisionalitas, dan komitmen terhadap nilai-nilai parokial.
Singkatnya, budaya politik ini merupakan penggabungan karakteristik dari ketiga
budaya politik murni. Dalam pemahaman yang lebih sederhana, budaya politik
kewarganegaraan merupakan kombinasi antara karakteristik-karakteristik aktif,
rasional, mempunyai informasi yang cukup mengenai politik, kesetiaan pada
sistem politik, kepercayaan dan kepatuhan terhadap pemerintah, keterikatan pada
keluarga, suku, dan agama.
Perbedaan-perbedaan
budaya politik yang juga berkembang dalam masyarakat tersebut, dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya:
a.Tingkat pendidikan masyarakat sebagai kunci utama perkembangan budaya politik
masyarakat.
b.Tingkat ekonomi
masyarakat, semakin tinggi tingkat ekonomi/sejahtera masyarakat maka
partisipasi masyarakat pun semakin besar.
c.Reformasi
politik/political will (semangat merevisi dan mengadopsi sistem politik yang
lebih baik).
d.Supremasi hukum
(adanya penegakan hukum yang adil, independen, dan bebas).
e.Media komunikasi
yang independen (berfungsi sebagai kontrol sosial, bebas, dan mandiri).
Budaya politik
yang berkembang di setiap negara sangat beragam, hal ini di pengaruhi oleh
karakter budaya politiknya masing-masing. Dalam konteks sistem politik
Indonesia, budaya politik diposisikan sebagai satu dari sekian jenis lingkungan
yang mengelilingi, mempengaruhi, dan menekan sistem politik, bahkan yang
dianggap paling intens dan mendasari sistem politik. Lebih jauh, bahwa salah
satu parameter pembangunan politik Indonesia adalah tercapainya keseimbangan
atau harmoni budaya politik dengan pelembagaan politik yang ada atau akan ada. Dalam
perkembangannya, Indonesia telah mengalami beberapa pergantian kekuasaan
politik. Penguasa politik yang bertahta, jelas akan sangat mempengaruhi budaya
politik yang ada saat itu. Perbedaan-perbedaan budaya politik tersebut
dipengaruhi oleh bedanya gaya kepemimpinan, kepentingan kelompok yang berbeda
pula, dll. Berikut adalah perbandingan budaya politik yang berkembang di
Indonesia dalam dua masa politik yang berbeda di negara Indonesia:
I. Budaya
Politik Pada Masa Orde baru (1966-1998)
Masa
orde baru adalah sebuah era yang ditandai dengan banyaknya berbagai
penyimpangan dan monopoli kekuasaan Presiden Soeharto. Sistem monopoli
kekuasaan yang sentralistik yang berpangkal pada Soeharto tersebut dapat
dilihat bagaimana dominannya kekuasaan Soeharto pada masa pemerintahannya yang
berlangsung lebih dari tiga dekade. Kelangsungan masa pemerintahan Orde Baru
tidak pernah terlepas dari peran mesin politik yang digerakkan oleh Soeharto
yaitu Golongan Karya (Golkar). Untuk menambah dominasi kekuasaan politiknya,
Soeharto juga menerapkan sistem Dwi Fungsi ABRI. Dwi Fungsi ABRI menerapkan
bahwa Militer/ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) tidak lagi hanya
bertugas sebagai lembaga yang berperan dalam ketahanan negara melainkan juga
ikut ambil bagian dalam kekuasaan politik dengan menempatkan orang-orangnya di
lembaga legislatif. Kekuasaan pada saat itu juga diisi oleh orang-orang yang
memiliki kedekatan dengan Soeharto. Secara tidak langsung birokrasi pada masa
Orde Baru didominasi oleh orang-orang yang memiliki loyalitas terhadap Soeharto
dan cenderung menciptakan suatu hubungan yang paternalistik. Di sisi lain
monopolistik dan totalitarianisme kekuasaan yang dilancarkan oleh Rezim
Soeharto menyebabkan pengekangan terhadap demokrasi, di mana ditandai dengan
pembungkaman terhadap hak-hak rakyat untuk menyatakan pendapatnya, pengendalian
terhadap media, tidak transparansinya pemerintahan, maraknya kasus
korupsi-kolusi-nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh pemerintah, serta proses
pengambilan keputusan kebijakan publik yang hanya diformulasikan dalam
lingkaran elit birokrasi dan militer yang terbatas sebagaimanaa terjadi dalam
tipologi masyarakat birokrasi. Implikasi negatif dari citra seperti itu dalam
kehidupan berdemokrasi adalah rakyat mengalami proses alienasi dari proses
politik. Rakyat diposisikan sebagai objek yang harus selalu menerima segala
keputusan pemerintah dalam setiap kebijakan publik. Pada akhirnya rakyat hanya
menjadi objek mobilisasi kebijakan para elit politik karena segala sesuatu
telah diputuskan di tingkat pusat dalam lingkaran elit terbatas.
Dari
kenyataan di atas, pola hubungan yang ditemukan pada era orde baru tersebut bersifat
patronase (patronage) yang sangat dipengaruhi oleh pola relasi antara pemimpin
dan pengikut yang berkembang pada kebudayaan Jawa. Di sisi lain budaya politik
yang bersifat neo-patrimonialistik dalam perpolitikan pada era ini berkembang
seiring dengan menguatnya kekuasaan dalam berbagai sektor rezim orde baru. Dikatakan
neo-patrimonialistik karena negara memiliki atribut yang bersifat modern dan
rasionalistik, seperti birokrasi; tetapi juga memperlihatkan beberapa atribut
yang bersifat patrimonialistik sebagaimana konsep patrimonialisme yang
dikembangkan oleh Max Weber.
Ciri
lain dari budaya politik pada era orde baru ini adalah sifat ikatan primordial
yang masih mengakar kuat. Primordialisme adalah suatu sikap sangat cintanya
terhadap sesuatu, baik terhadap suatu agama, etnis, golongan, maupun kebudayan.
Ikatan yang berdasarkan kekerabatan darah dan keluarga, suku bangsa, daerah,
bahasa, adat istiadat, dan agama merupakan faktor primordial.
Pada
kenyataannya, dapat disimpulkan bahwa budaya politik Indonesia pada masa orde
baru ini masih sangat kuat dipengaruhi viariabel feodalisme, paternalisme, dan
primordialisme. Indikator dari paternalisme dan patrimonial yang masih cukup
kuat mewarnai budaya politik Indonesia adalah asal bapak senang (bapakisme) dan
sifat birokrasi yang bercirikan patron-klien, yang mana melahirkan tipe birokrasi patrimonial, yakni
suatu birokrasi dimana hubungan-hubungan yang ada, baik intern maupun ekstern
adalah hubungan antar patron dan klien yang sifatnya sangat pribadi dan khas;
sedangkan indikator primordialisme berupa sentimen kedaerahan, kesukuan,
keagamaan, perbedaan pendekataan terhadap agama tertentu, puritanisme dan
non-puritanisme, dan sebagainya. Namun ditengah-tengah pengaruh tradisionalisme
tersebut, tumbuhnya kelompok elit di Indonesia sebagai akibat pengaruh
pendidikan modern (Barat) yang merupakan partisipan aktif sehingga menimbulkan
corak yang berbeda dalam budaya politik di Indonesia pada era orde baru. Sehingga
atas dasar analisis pengaruh variabel-variabel tersebut terhadap budaya politik
masyarakat, dapat disimpulkan bahwa budaya politik Indonesia “mixed political
culture” yang diwarnai dengan besarnya pengaruh kebudayaan politik
parokial-kaula yang mana di satu pihak dan budaya politik partisipan dilain
pihak; di satu segi masa masih ketinggalan dalam menggunakan hak dan dalam memikul
tanggung jawab politiknya, yang mungkin disebabkan oleh isolasi dari kebudayaan
luar, pengaruh penjajahan, feodalisme, bapakisme, ikatan primordial, sedang di
lain pihak kaum elitnya sungguh-sungguh merupakan merupakan partisipan yang
aktif – yang kira-kira disebabkan oleh pengaruh pendidikan moderen –
kadang-kadang bersifat sekuler dalam arti relatif dapat membedakan
faktor-faktor penyebab disintegrasi seperti agama, kesukuan dan lainnya.
II.Budaya
Politik Pada Masa Reformasi (1998-Sekarang)
Adapun
di Era Reformasi, budaya politik masyarakat Indonesia ternyata tidak membawa
perubahan yang signifikan, karena masih tetap diwarnai oleh paternalisme,
parokhialisme, mempunyai orientasi yang kuat terhadap kekuasaan, dan
patrimonialisme yang masih berkembang dengan sangat kuat. Hal ini disebabkan
adopsi sistem politik hanya menyentuh pada dimensi struktur dan fungsi-fungsi
politiknya (yang biasanya diwujudkan dalam konstitusi), namun tidak pada
semangat budaya yang melingkupi pendirian sistem politik tersebut. Dalam
mengkaji budaya politik masyarakat Indonesia atas dasar empat budaya politik
campuran (mixed political culture) yang dikemukakan Gabriel Almond, dapat
disimpulkan bahwa budaya politik di Indonesia merupakan kombinasi antara
parochial-subject culture, subject-participant culture, parochial-participant
culture, dan civic culture.
Dalam
hal ini budaya politik Indonesia, bergerak di antara subject-participant
culture dan parochial-participant culture. Subject-participant culture ditandai
oleh menguatnya partisipasi politik masyarakat dalam kehidupan politik terhadap
input-input politik, sementara pada waktu yang bersamaan berkembang rasa
ketidakmampuan masyarakat untuk mengubah kebijakan. Rasa sebagai wong cilik,
orang-orang tidak mampu, dan termarginalkan membuat mereka hanya berorientasi
pada output sistem politik dibandingkan dengan kepedulian terhadap proses input
sistem politik. Fenomena seperti ini tidak hanya ditemukan di daerah-daerah
pedesaan, tetapi juga di perkotaan di mana masyarakat miskin dan termarginalkan
tumbuh subur. Bahkan, kebijakan pembangunan yang dilaksanakan oleh para
penguasa politik yang berorientasi pada kebijakan neo-liberal mendorong
kelompok-kelompok marginal ini semakin besar. Parochial-participant culture
ditandai semangat primordialisme secara berlebihan, yakni menguatnya wacana
kedaerahan pasca diterapkannya otonomi daerah. Dalam hal ini terdapat tekanan
dan desakan yang kuat di beberapa daerah agar pemimpin lokal seperti
walikota/bupati dan gubernur dipilih dari putra-putra daerah. Situasi ini jelas
akan merugikan sistem politik secara keseluruhan karena cenderung menimbulkan
konflik horizontal dan menghambat rasa kebangsaan (nation building) yang pada
akhirnya menjadi faktor penghambat konsolidasi demokrasi.
Beragamnya
budaya politik antar individu di era reformasi ini disebabkan oleh dua faktor
utama. Pertama, bahwa masyarakat yang memiliki status ekonomi yang lebih baik
akan lebih mudah berpartisipasi secara efektif ketimbang yang memiliki status
ekonomi yang berkekurangan. Dengan demikian terdapat keterkaitan antara status
sosioekonomi seseorang dengan perkembangan demokrasi. Selain sosio-ekonomi,
dimensi lain yang memiliki pengaruh signifikan terhadap perkembangan demokrasi
adalah tingkat pendidikan formal. Tinggi-rendah pendidikan individu berkaitan
dengan rasionalitas seseorang dalam melakukan evaluasi terhadap aktivitas
politik. Dalam hal ini terdapat korelasi antara sosio-ekonomi dengan tingkat
pendidikan di mana pendidikan yang rendah pada umumnya ditemukan pada masyarakat
kalangan miskin.
terdapat
lima preposisi tentang perubahan politik dan budaya politik yang berlangsung
sejak reformasi 1998, antara lain: Orientasi
terhadap kekuasaan, misalnya saja dalam partai politik, orientasi pengejaran
kekuasaan yang sangat kuat dalam partai politik telah membuat partai-partai
politik era reformasi lebih bersifat pragmatis; politik mikro vs politik makro,
politik Indonesia sebagian besar lebih berkutat pada politik mikro yang
terbatas pada hubungan-hubungan antara aktor-aktor politik, yang terbatas pada
tukar-menukar kepentingan politik, sedangkan pada politik makro tidak terlalu
diperhatikan dimana merupakan tempat terjadinya tukar-menukar kekuatan-kekuatan
sosial seperti negara, masyarakat, struktur politik, sistem hukum, civil
society, dsb; kepentingan negara vs kepentingan masyarakat, realitas politik
lebih berorientasi pada kepentingan negara dibandingkan kepentingan masyarakat;
desentralisasi politik, pada kenyataannya yang terjadi bukanlah desentralisasi
politik, melainkan lebih pada berpindahnya sentralisme politik dari pemerintah
pusat ke pemerintah daerah; kebebasan berpendapat, era reformasi ini ditandai
dengan kebebasan setiap warga negara nya terhadap pemerintah, tidak adanya
pembungkaman oleh pemerintah, dan kebebasan pers.
Maka,
dari paparan diatas budaya politik di Indonesia merupakan mixed political
culture, kombinasi dari 3 (tiga) budaya politik: masyarakat budaya parokial,
masyarakat budaya politik partisipan, dan masyarakat budaya politik subjek.
Budaya
politik Indonesia di Era Reformasi tidak membawa perubahan yang signifikan
terhadap budaya politik masyarakat Indonesia, walaupun secara historis
pelembagaan formal sistem politik Indonesia sudah mengalami beberapa kali
perubahan. Hal ini dapat dipahami mengingat suatu kebudayaan berdasarkan
hukum-hukum perkembangan masyarakat (laws of social development) berjalan
relatif lambat.Dalam konteks ini perlu, perlu ditegaskan bahwa mengubah budaya
politik tidak semudah mengubah struktur dan fungsi-fungsi politik. Mengubah
struktur dan fungsi dapat dilakukan dengan mengubah undang-undang dasar suatu
negara, tetapi mengubah budaya politik suatu bangsa akan memerlukan waktu
puluhan bahkan ratusan tahun. Terlebih ketika budaya tersebut telah mengakar
dalam kehidupan politik masyarakatnya.
Referensi:
Kantaprawira,
Rusadi, 2006. Sistem Politik Indonesia: Suatu Model Pengantar. Bandung : Sinar
Baru Algensindo.
Rohaniah, Yoyoh,
2017. Sistem Politik Indonesia : Menjelajahi Teori dan Praktik. Malang :
Intrans Publishing.
Winarno, Budi,
2007. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Yogyakarta : MedPress.
Gosal, Rony,
2014. Budaya Politik Di Indonesia. Manado : Jurnal Ilmiah FISIP Unsrat.
Mulyawan, Budi,
2015. Budaya Politik Masyarakat Indonesia Dalam Perspektif Pembangunan Politik.
Indramayu : Jurnal Aspirasi vol. 5 no. 2.Sumber gambar:
https://www.hipwee.com/feature/pengabdian-itu-lebih-penting-dari-uang-ini-5-hal-yang-mesti-kamu-tahu-tentang-abdi-dalem-keraton/
Komentar
Posting Komentar