Mendengar kata liburan pastinya banyak
orang suka dengan kegiatan yang satu ini, setiap orang juga kayaknya punya
makna sendiri-sendiri tentang liburan. Kalo menurut gue sih liburan adalah
waktu yang pas buat ngelakuin banyak hal, apapun itu, terkadang sampai hal gila
sekalipun. Gue pribadi mengisi waktu senggang liburan dengan banyak hal, kadang
cuma diem dirumah sambil baca-baca hal penting sampe ga penting, tidur sampe
lupa waktu, nongkrong haha-hihi sambil ngeghibahin orang (huft), bantu orangtua
buat jualan di pasar minggu, bantu-bantu di acara kegiatan sosial, scroll
timeline di media sosial sampe diulang lagi keatas, stalking doi, ke taman kota
sambil cuci mata, backpacker-an sama temen-temen, jogging sambil godain cewe
(sampe di gong-gongin anjingnya, untung si tetehnya ga gigit.. aw), dan masih
banyak hal lainnya (kecuali ngegalauin mantan ya, sorry).
Kayaknya hampir setiap liburan,
siklus kegiatan gue selama masa itu tuh ya gitu-gitu aja. Gaada yang beda dari
tahun-ke tahun. Ada sih tapi kadang ga terlalu signifikan. Dan kebetulan di
liburan kali ini ada beberapa agenda yang buat gue gabisa nikmatin full liburan
gue, annoying banget sih, tapi apa boleh dikata ya gue jalanin aja. it’s okay.
Tapi dari liburan kali ini ada satu
kegiatan yang kaya akan pelajaran, dan itu buat gue kaya akan pengalaman.
Liburan kali ini gue dan temen-temen, mereka adalah Faisal, Vikri, Fathan, dan
Dzikry melakukan perjalanan ke barat, bukan buat nyari kitab suci, tapi mencari
makna tentang nilai dan budaya (berat banget liburannya). Jadi, kami pergi backpackeran
ke Baduy. Baduy men. Beberapa hal langsung muncul dibenak gue, primitive,
mitsik, serem, gaada sinyal, tradisional langsung terlintas dipikiran gue.
Pertanyaannya ada apa sih disana? (tanya dalam hati), niatnya sih buat nyari
sesuatu hal yang baru dan beda aja. Gue dan temen-temen ga berekspektasi lebih
dalam perjalanan kali ini. di Baduy kami ga berharap ada jet coster, konser
Taylor Swift, pameran action figure, atau apapun. Tapi sih logikanya itumah
terlalu berlebihan. Okay.
Cerita ini berawal dari kekecewaan
kami yang mana harusnya kami sedang dalam program Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa
(KKNM) yang seharusnya membuat kami ada di pengasingan (daerah pengabdian) tapi
karena sistemnya dirubah dan daerah KKNM-nya cuma di daerah kisaran kampus ya
jelas kami kecewa banget, karena itu pengalaman yang didapatkan bisa dikatakan
gitu-gitu aja. Dan muncullah ide buat main ke suku Baduy, buat ngobati
kekecewaan ini. sebenernya rencana ini udah mulai terbesit dalam pikiran gue
sejak tahun kemari, tapi ya seperti biasanya omongan cuma omongan ya jadinya
cuma sekadar wacana. Tapi, ya karena hal diatas tadi pada akhirnya kami
me-recycle ulang wacana yang udah basi tadi. Mulai dari situ kami ngumpulin
banyak informasi buat backpackeran disana, ya akses, akomodasi, biaya, apa aja
yang gadibolehin, apa aja yang mesti dibawa, dan semua hal yang berkaitan
dengan perjalanan ini kami persiapkan sematang mungkin. Dan akhirnya DEAL
tanggal 21 Januari 2018 kami sepakat buat berangkat ke Baduy pedalaman.
For your information aja, suku
Baduy ini secara administratif terletak di desa Panekes, kecamatan Leuwidamar, kabupaten
Lebak, Provinsi Banten. Kalo diliat di peta sih kayak deket dari riuhnya
ibukota Jakarta. Tapi nyatanya, beuh bukan main jauhnya dan ditambah medannya
yang ‘ajegile’.
Perjalanan kami dimulai dari
terminal bayangan di Cileunyi, disana kami nungguin bis buat mengantarkan kami
ke bilangan Lebak Bulus, karena kondisnya udah mau tengah malam jadi bis yang
kami tunggu-tunggu agak susah. Terhitung sekitar satu jam-an, 4 sekawan ini
menunggu sebuah bis yang dinanti-nanti atau sebut aja bis primasaja. Dan ketika
bisnya datang, kami agak kaget, karena bisnya penuh banget, sedikit heran
karena posisinya kan ini udah malam hari. Kamipun harus rela duduk ngampar
disamping pak supir yang sedang bekerja, bayangin men kami duduk ngampar dengan
posisi gak nyaman sama sekali dari Cileunyi sampe Lebak Bulus, harapan pertama
buat tidur nyenyak di bis pun sirna. Beberapa dari kami terjaga sampai tujuan.
Itu cobaan pertama.
Tiga jam berlalu, sampailah di
terminal Lebak Bulus buat transit naik angkot ke stasiun Kebayoran Lama. Gue
mulai ga bisa ngerasain bokong gue karena kesemutan parah haha. Sesampainya di
stasiun Kebayoran Lama, ternyata stasiunnya masih tutup, yaiyalah orang itu nyampenya
jam 3 subuh. Okay, kami nyari tempat peristirahatan sejenak sekalian ngelurusin
kaki. Mampirlah ke warung kopi dikisaran situ, sampai dua jam berlalu dan kami
ngecek stasiun, dan syukur ternyata udah buka. Ada kejadian unik, tapi lebih ke
norak sih soalnya sistem ticketing di stasiunnya udah pake vending machine.
Kami yang gaptek sempat saling dorong buat mencoba si mesin itu tapi gaada yang
mau karena malu dan takut salah. Untunglah ada pak security yang siap membantu,
dan tertolonglah kami dari rasa malu. 4 tiket seharga 8 ribu rupiah satunya
sudah ditangan dengan tujuan Kebayoran-Rangkasbitung. Dan karena masih terlalu
pagi, kita orang harus nunggu lagi kedatangan commuter line nya. Se-jam
menunggu, rangkaian gerbong yang dinanti telah tiba di stasiun penantian. Rada
excited gitu, karena pertama kali naik commuter line, soalnya di Bandung cuma
ada kereta diesel biasa. Tapi pas naik ke dalam gerbongnya ya sebenernya sama
aja, gitu-gitu aja wkwk. Stasiun demi stasiun terlewati ada lebih dari 10 stasiun
lokal yang dilewati oleh kereta ini sampai pada akhirnya sampailah di stasiun
paling akhir dan tujuan kami, yap setelah dua jam tibalah kereta di stasiun
Rangkasbitung. Sesampainya di Rangkasbitung, dalam hati bergumam “ohh ini
Rangkasbitung wkwk”. Dan Faisal (orang
Rangkas asli) salah satu temen gue sudah menanti di stasiun Rangkasbitung,
selain si Faisal, hujan juga menyambut kedatangan kami.
Tak jauh dari stasiun, gue dan
temen-temen mampir ke rumah Faisal buat sekedar duduk santai dan rebahan sejenak,
sambil mempersiapkan semua yang mesti dibawa kayak bahan makanan dan cemilan
kecil. Sekedar berbagi aja, gue seneng sama ibunya Faisal, beliau orangnya baik
dan ramah, interaktif pula. Mungkin beliau orang yang berprinsip untuk
memuliakan tamu. Okay, balik lagi ke cerita, tak lama, gue dan temen-temen
lanjut perjalanan buat ke Baduy, kami harus naik elf (sejenis mobil travel yang
ada di daerah-daerah dengan kapasitas normal sekitaran 11 sampai 13 orang) dulu
di terminal Aweh. Oiaya, asal kalian tau aja elf yang ada di Rangkabitung ini
kondisinya cukup untuk mengkerutkan kening gue. Kenapa, karena kondisinya yang
udah tua, membuat si elf ini terlihat epic (bukan secara harafiah). Kursinya
yang udah banyak tambalan ditambah kerangkanya yang udah karatan menambah kesan
oldskool si elf ini wkwk. Dan tau lah namanya naik elf pasti ngetemnya lama
banget. Hampir setengah jam elf ngetem, barulah memulai perjalanannya. Okay,
perjalanan ini terasa seru karena medannya yang mulai ‘ajegile’ itu udah kerasa
banget. Gue perhatiin jalan raya sepanjang perjalanan ini rusaknya parah
banget, lubangnya yang segede kebo ditambah genangan air yang udah kayak situ
semakin memperparah keadaan. Gue semakin paham kalo pembangunan itu bener-bener
belum merata. Ketika pemerintah berfokus pada hal makro, ya ini dampaknya
hal-hal mikro mulai diabaikan. Kalo gue warlok (warga lokal) situ, pasti udah
kesel banget dengan keadaan yang kayak gitu. Yaiyalah, gimana ga kesel banget,
itu jalan kan jalan utama, akses penghubung ekonomi, kalo jalannya jelek akses
ekonominya juga pasti terhambat dan itu bakalan buat warga sepanjang jalan itu
terisolasi karena orang-orang bakalan mikirin dua kali buat berinvestasi di
sekitaran situ. Ya tapi gue harap hal ini bisa jadi perhatian buat pemerintah
terutama pemerintah daerahnya buat memperbaiki akses dan fasilitas di daerah
tersebut, karena dengan akses dan fasilitas infrastruktur yang bagus bakalan
menstimulus roda perekonomian disitu. Selain jalan yang jelek, moda
transportasi di daerah situ cuma berharap sama elf yang mana elf itu juga
jarang banget. Anak-anak sekolah dan ibu-ibu yang ke pasar atau sekedar pergi
ke rumah saudaranya harus berebut buat naik elf ini, sampai-sampai ada
anak-anak SMP baik cowo maupun cewe harus duduk diatap mobil elf yang tua ini.
ironis sih ngeliatnya, segitunya banget di daerah orang buat nyari ilmu. Dan
hal tersebut buat gue bersyukur dengan keadaan dan fasilitas yang mendukung gue
buat belajar menuntut ilmu, lain kali gaboleh lagi ngeluh haha. Selain kondisi
miris tadi, sebenernya pemandangan selama perjalanan cukup asik. Hamparan bukit
dan pesawahan yang luas ditambah medannya yang naik turun, jadi pelengkap dalam
perjalanan ke Baduy.
Sekitaran satu jam setengah,
barulah kami sampai di terminal Ciboleger yang jadi tujuan akhir elf ini. gak
jauh dari situ kami sudah ditunggu oleh guide kami yang mana dia adalah orang
Baduy luar asli, namanya Arwan, dipanggil kang Arwan usianya sekitaran 30-35
tahun (kalo kalian pingin tau orangnya, sila di cek di akun IG nya doi @Arwan.baduy).
Sekitar 400 meter dari terminal itu, sampailah di depan gerbang pemukiman
Baduy. Sebelum masuk ke pemukiman Baduy, kami menambah beberapa belanjaan untuk
santapan dan air mineral selama tinggal di baduy dan membeli beberapa bahan
pokok untuk diberikan kepada guide kami sebagai rasa terima kasih yang telah
memberikan tempat untuk menginap.
Patung Selamat Datang ala Baduy yang terletak di Terminal Ciboleger |
Ketika pertama kali masuk, gue
langsung tertarik dengan kehidupan orang-orang Baduy ini. Banyak pemandangan
yang berbeda ketika memasuki daerah Baduy, mulai dari suasana yang kerasa
natural banget, rumah-rumah yang tradisional yang semakin buat epic
pemandangan, hasil alam yang melimpah, dan orang-orang suku Baduy yang masih
memegang erat teguh budaya terutama dalam berpakaian, hal-hal itu buat gue
semakin penasaran dengan semua yang mereka anut dan mereka amalkan. Yang mana hal
ini gaakan lu dapetin di Bandung ataupun di Jakarta. Beberapa pertanyaan
nyeleneh mulai mengeruak dibenak pikiran gue dan minta buat dijawab satu-persatu
secara detail, yang seolah-olah seperti orang di padang pasir yang haus akan
air.
FYI lagi, suku Baduy ini adalah
suku yang memprimitifkan diri dan berusaha untuk menolak terhadap kemajuan
teknologi. Hal ini mereka lakukan demi menjaga nilai-nilai dan tradisi yang
mereka anut yang telah diturunkan dan dilestarikan oleh nenek moyang mereka.
Epic sih.
Back to story, rumah kang Arwan ini
jaraknya gak jauh dari gerbang masuk, sekitaran 5 menit udah sampai.
Sesampainya disana, kami beres-beres perlengkapan yang kami bawa sekalian ngaso
dan menikmati keasrian suku Baduy. Sambil rebahan, kami berbincang kecil dengan
kang Arwan yang mana gue udah punya beberapa pertanyaan yang siap buat ditodong
ke kang Arwan buat dijawab. Dan gue senengnya kang Arwan ini ramah banget,
nambah suasana obrolan semakin akrab dan hangat. Ditambah cuaca hujan yang
turun semakin memberikan kesan eksotis dalam kunjungan ini.
Penampakan pemukiman Suku Baduy dekat gerbang |
Dalam obrolan selamat datang ini,
kang Arwan nanya tentang tujuan kemana saja kami akan pergi berkunjung. Sebelumnya
gue sih udah googling tentang Baduy ini, terutama tujuan-tujuan kunjungan
selama di Baduy. Dan kami sepakat kalo kami mau mengunjungi Baduy Dalam. Tapi,
kami harus menahan hasrat penasaran kami untuk berkunjung ke Baduy dalam.
Karena dalam penjelasnnya, kang Arwan melarang kami untuk berkunjung kesana.
Mengapa, karena Baduy dalam sedang melaksanakan upacara Kawalu. Yang mana
upacara Kawalu ini mewajibkan mereka (Baduy dalam) untuk mengasingkan diri,
karena mereka harus menahan diri dari nafsu duniawi (semacam nyepi atau puasa
gitu), ya jelas turis-turis dilarang untuk berkunjung ke Baduy dalam. Kecewa
banget sih sebenernya, ya tapi mau gimana lagi, kami juga harus menghargai adat
dan tradisi mereka. Tapi untuk mengakali kekecewaan ini, gue dan temen-temen
lainnya merencanakan kunjungan ke Gajeboh, suatu permukiman Baduy luar yang
jaraknya sekitar satu setengah jam jalan kaki dari gerbang pemukiman suku
baduy. Karena waktunya yang udah mau sore ditambah cuacanya yang hujan manja,
membuat kami harus menunda perjalanan kami sampai besok pagi.
Kami pun melanjutkan obrolan
santai, sambil menodongkan beberapa pertanyaan mendasar. Dalam obrolannya
bersama kang Arwan ini, sedikit demi sedikit rasa penasaran gue mulai terjawab.
Dari obrolan santai itu, gue dapet beberapa poin tentang kehidupan mereka. Yang
mana mereka berprinsip bahwa keadaan mereka saat ini yang bisa dikatakan
primitif adalah upaya untuk menjaga budaya dan kearifan lokal yang telah
tertanam dan diajarkan oleh para pendahulu mereka. Mereka bukan menolak
terhadap kemajuan, tapi mereka percaya bahwa kemajuan yang ada akan merusak dan
mengikis kebudayaan mereka. Dari situ gue paham kalo suku Baduy ini bukanlah
suku yang pragmatis. It’s mean, mereka ga mau kalau suatu saat nilai-nilai yang
telah terjaga dari lama, sikap kearifan, dan tradisi yang telah mengakar
berubah hilang tergerus arus globalisasi, yang mana ini terjadi di Indonesia
secara umum. Sebenernya ini lebih kompleks dari yang gue pahami, tapi gue tulis
sesederhana mungkin untuk memudahkan dalam pemahamannya.
Setelah hujan reda, kami
menyempatkan diri untuk keluar sambil melihat-lihat situasi sekitar yang asri.
Tak jauh dari rumah kang Arwan terdapat rumah Jaro. Jaro adalah sebutan suku
Baduy terhadap pemimpin suku Baduy luar. Hal ini ga gue sia-siakan. Beberapa
pertanyaan yang belum terjawab, gue tanyain lagi ke Jaro ini. dari obrolan
tersebut terdapat bebrapa hal yang bisa gue simpulkan. Jadi gini simpulan yang
gue dapetin dari obrolan-obrolan yang udah gue lakuin, rada disimak ya, soalnya
bahasannya serius wkwk.
Mengenal Suku Baduy
Suku Baduy adalah suku yang terbagi
menjadi dua bagian, yakni Baduy luar dan Baduy dalam. Secara kekerabatan mereka
memiliki keterikatan darah, artinya antara suku Baduy luar dan Baduy dalam
adalah keluarga. Namun dalam kepercayaan yang mereka anut, bahwa hidup itu
digariskan dalam takdir perjodohan yang mana satu sama lain saling
berpasang-pasangan. Ada siang ada malam, ada laki-laki ada perempuan, ada Bumi
ada Langit, ada hitam ada putih, begitupun ada luar ada dalam. Dari situlah
terbentuk suatu sistem yang mana mengharuskan Baduy ini terbagi menjadi Baduy
luar dan Baduy dalam.
Ada beberapa perbedaan antara
rutinitas dan kebiasaan di Baduy luar dan Baduy dalam.
- Baduy luar berdomisili diwilayah luar Tangtu dan menempati 27 kampung di desa Kanekes. Disana terdapat hukum adat yang menjadi pedoman dalam berkehidupan sehari-hari. Jumlah suku Baduy luar ada sekitar 11 ribu jiwa dan tersebar. Di Baduy luar sendiri mereka telah mengenal dan menggunakan sistem perekonomian jual beli, artinya mereka telah paham nilai dan nominal serta menggunakan uang rupiah dalam transasksinya. Dalam hal pakaian, laki-laki di Baduy luar menggunakan baju pangsi berwarna hitam, dan celana pendek berwarna hitam juga, sedangkan di kepala mereka menggunakan iket kepala berwarna hitam dengan motif biru dongker. Sedangkan untuk perempuan menggunakan atasan kebaya, dan bawahannya samping berwarna hitam dengan motif berwarna biru dongker.
- Baduy dalam menempati di tiga kawasan Tangtu, yakni Cikertawan, Cibeo, dan Cikeusik. Baduy dalam tidak mengenal uang, mereka menggunakan sistem barter. Mereka berkeyakinan bahwa dengan jual beli menggunakan uang, maka akan menimbulkan rasa saling menguntungkan diri yang pada akhirnya akan menimbulkan ketidakseimbangan. Dalam berpakaian, orang-orang di Baduy dalam menggunakan pakaian dominan putih.
Dalam hal
kepercayaan, suku Baduy menganut ajaran Sunda Wiwitan. Sunda Wiwitan itu adalah
suatu agama kepercayaan yang berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang
(animisme) yang pada perkembangan selanjutnya ajaran ini dipengaruhi oleh
ajaran Hindu, Budha, dan Islam yang masuk ke Nusantara. Suku Baduy juga meyakini
dewa-dewi sebagai Tuhan mereka. Suku Baduy memiliki keyakinan bahwa dalam dunia
ini harus terjadi keseimbangan. Karena apabila keseimbangan tersebut rusak,
maka akan memengaruhi kehidupan lainnya. Sehingga keseimbangan ini harus dijaga
sebaik mungkin. Dari Bahasa yang digunakan oleh suku Baduy menggunakan dialek
Sunda banten. Tepi beberapa orang sudah menggunakan Bahasa Indonesia yang
mereka pelajari dari pengunjung yang datang ke suku Baduy. Di Baduy tidak
menganal akasara tulisan. Disana juga tidak terdapat sekolah, meskipun
pemerintah telah menawarkan untuk membangun dan mendirikan sekolah serta
fasilitas penunjang lainnya namun suku Baduy menolaknya dengan dalih bahwa hal
tersebut dapat merusak tatanan adat dan budaya yang ada. Dalam hal penyampaian
ajarannya mereka sampaikan nilai-nilai, kepercayaan, agama, adat istiadat,
kebudayaan dan ajaran lainnya melalui lisan secara turun-temurun. Karena tidak
mengenal aksara dan tulisan mereka juga tidak memiliki semacam kitab suci atau
pedoman tertulis lainnya.
Dalam
memenuhi kebutuhan sehari-hari, suku Baduy bergantung kepada kekayaan alam yang
dimiliki oleh wilayahnya. Keadaan geografisnya yang mendukung menjadikan
warganya sebagai petani ladang. Cocok tanam dan hasil bumi menjadi mata
pencaharian suku baduy dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Makanan pokok suku
Baduy adalah nasi.
Rutinitas
sehari-hari warganya adalah mencari hasil bumi untuk kebutuhan sehari-hari.
Terkadang beberapa dari mereka baik laki-laki maupun perempuan, baik anak-anak
muda sampai orang dewasa membawanya ke terminal untuk dijual kepada pengepul,
biasanya yang dijual adalah durian. Dalam menyimpan hasil bercocok tanamnya
mereka memiliki lumbung berukuran 2x2x3 meter yang terbuat dari anyaman bambo
beratapkan jerami. Sebagian lainnya, terutama wanita diam dirumah untuk menenun.
Berbeda dengan di komplek perumahan modern warga menengah ke bawah, disana
jarang sekali ditemukan perkumpulan ibu-ibu disuatu tempat, mereka lebih memilih
untuk menghabikan waktunya di rumah masing-masing. Anak-anaknya pun jarang ada
yang bermain diluar. Bahkan tidak ditemukan sebuah lapangan untuk bermain bagi
anak-anak. Beberapa dari mereka memelihara burung dan ayam untuk disembelih.
Beberapa dari mereka juga ada yang rumahnya memiliki MCK, tetapi adapula yang
melakukan kegiatan MCK-nya di sungai dekat rumah mereka. Rumahnya yang panggung
terbuat dari bambu dan beratapkan jerami membuat kesan tradisional semakin
kuat. Dalam membangun rumah, suku Baduy tidak menggunakan batu-bata merah
maupun semen. Begitupun dalam membangun fasilitas penunjang lainnya seperti
jembatan, kursi-kursi, ataupun pendopo.
Ayam ternak |
Burung peliharaan |
Hasil tenun wanita Baduy |
Seorang ibu sedang melakukan kegiatan menenun |
Lumbung untuk menyimpan hasil panen raya |
Ngangkut duren ke terminal |
Ibu-ibu yang ngangkut hasil bumi sedang beristirahat |
Gadis muda yang sedang beristirahat karena berat bawa barang bawaannya |
Tempat mandi, cuci, kakus orang Baduy kalo di sungai |
Jembatan yang dibuat dari bambu |
Suku Baduy
luar telah terdampak politik modern. Sistem pemilihan umum telah dikenalkan
disana. Tetapi warga Baduy dalam tidak mengenalnya, mereka lebih memilih untuk
menolak dan mendoakan siapapun yang menjadi pemimpin (Bupati, Gubernur, ataupun
Presiden) nantinya. Dalam hal pemilihan Jaro pun ditunjuk oleh tetua adat.
Gitu deh,
hasil obrolan yang gue dapet, jelas buat pemikiran gue lebih terbuka lagi tentang dunia ini. Tapi ada hal yang lebih
menarik lagi selama gue di Baduy. Hal ini gue dapetin ketika ada anak-anak yang
memetik beberapa buah rambutan. Perlu digaris bawahi, kalau mereka ngambil cuma
beberapa, ya secukupnya, ga berlebihan. Padahal gue lihat bahwa rambutan yang
ada melimpah banget dan menggiurkan. Disitu gue belajar, bahwa orang-orang
Baduy ini ngga mau serakah dan takut kehabisan. Sesuai dengan prinsip mereka
yang menjaga keseimbangan. Dan itu mereka terapkan bukan hanya dalam aspek
tertentu aja, tapi banyak hal lainnya, sehingga prinsip yang mereka gunakan
bener-bener mengakar dan kompleks sampai hal-hal terkecil.
Sampai
malampun tiba, karena gaada listrik yang mengalir, membuat kondisi perkampungan
bener-bener gelap gulita kayak suasana di film Insidous. Jam 8 malam kerasa
seperti tengah malam. Dan jam 9 gue udah ngantuk berat, dan memutuskan untuk
mengistirahtkan mata dan bersiap untuk perjalanan besok harinya.
Ayam
berkokok, tanda pagi sudah tiba. Gue bangun paling awal diantara yang lain,
disisi lain karena perut sembelit tapi gue juga pingin ngerasain suasana pagi
yang asri. Setelah buang hajat, gue lanjut sholat subuh. Dan setelahnya gue
nikmatin, sejuknya pagi dan suasana asri di baduy.
Ketika
matahari agak naik sepenggalah, temen-temen yang lain ngajak caw buat lanjutin
perjalanan ke Gajeboh. Okay, kami bergegas dengan membawa beberapa persiapan
untuk diperjalanan semacam air mineral dan DSLR buat foto-foto pemandangan
sekitar. Jalan yang terjal mengitari bukit, naik dan turun, masuk keluar hutan
adalah suasana yang menemani selama perjalanan menuju Gajeboh. Di dalam hutan
banyak banget terdapat mata air, brrr dingin banget dan jernih men, tanpa
kaporit padahal, inilah yang terjaga dari masyarakat tradisional. Karena mereka
paham kalau mereka membutuhkan alam, bukan alam yang butuh sama kita, maka
mereka melestarikannya dengan menjaga keseimbangan alamnya. Sepanjang
perjalanan juga, kita disuguhkan dengan hasil bumi yang melimpah. Ada banyak
banget buah-buahan yang tinggal lu petik deh. Beberapa diantaranya kayak
durian, rambutan, dukuh, dan buah-buah lainnya. Oiya, disana juga terdapat
pesawahan yang ditanam sama wagra Baduy. Sawahnya beda sama yang biasa kita
lihat, kalo biasanya kita lihat sawah yang berair dan berpetak petak, nah di
Baduy sawahnya kering yang ditanam di tebing-tebing perbukitan, agak ekstrim
gitu litanya. Dan dalam hati bertanya “gimana ya cara mereka buat panennya?”
dan itu jadi salah satu pertanyaan yang ga terjawab.
Ada yang
buat gue salut ketika diperjalanan, dan gue memahami kalo Baduy ini adalah suku
yang pekerja keras. Gimana enggak coba, anak kecil sampe orang dewasa ngangkut
hasil bumi ke terminal yang notabene aksesnya terjal banget, ya licin, dan turun
naik. Salut banget deh gue sama mereka. Gue aja yang Cuma bawa tas udah ngeluh,
tapi mereka bawa durian berkilo-kilo pantang ngeluh, malu dah gue dalam hati.
Ini kali ya yang bedain kita masyarkat modern sama mereka masyarakat
tradisional, fasilitas yang ada membuat kita masyarakat modern nyaman dengan
bermanja-manjaan. Hampir satu setengah jam, dan kami sampai di Gajeboh.
Pemandangan yang natural banget menyambut kedatangan kami. Cekrek-cekrek gue
fotoin keadaan sekitar, dan gue nikmatin keadaan sekitar. FYI kalau dari
gajeboh mau ke Baduy dalam, ada sekitar dua jam lagi, dan itu jauh banget.
Ini adalah view dari Gajeboh tujuan kita |
Suku Baduy asli yang sedang menikmati suasana |
Setelahnya
kami langsung balik ke pemondokan kami dengan mengarungi jalan yang sama.
Sekalian kami membeli buah tangan untuk dibawa ke Bandung. Dan sampailah kami
di rumah kang Arwan. Karena kami tidak diperbolehkan untuk berkunjung ke Baduy
dalam, maka kami memutuskan untuk menyudahi perjalanan kami di Baduy. Siangnya
kami bergegas untuk balik ke Rangkasbitung dan dilanjutkan ke Bandung.
Intinya,
gue dapet banyak banget pencerahan dalam perjalanan kali ini dari yang tadinya
ngeliat suku Baduy sebagai suku yang mistik dan primitive. Tapi semua itu
terbantahkan ketika gue berkunjung langsung kesana. Suku baduy bukanlah suku
yang terasingkan, dan janganlah kita sesekali memandang mereka sebagai orang
yang berbeda dari kita. Mereka sama aja sama kita, yang membedakannya cuma
dikeyakinan yang kita pahami aja, dan itu kompleks banget. Jangan pernah
mempercayai sesuatu sebelum lu ngeliatnya langsung dari mata kepala lu. Intinya
lu harus berusaha skeptis terhadap sesuatu, jangan terbawa opini publik yang
terkadang mengarahkan pikiran lu ke jalan yang belum tentu bener. Sok iye
banget ya omongan gue wkwk.
Kereta yang siap membawa kami balik ke Jakarta |
Okay, dalam
backpacker-an kali ini gue dapet banyak banget makna selama perjalanan ini. ga
perlu besar, ternyata dari hal sekecil apapun lu bisa dapet banyak makna selama
lu memahaminya sebagai pelajaran hidup. Sejatinya kita adalah makhluk yang
terus belajar, bahkan sampai maut tiba pun kita akan tetep seperti itu. Seneng
banget ketika liburan gue bukan cuma dimaknai sebagai kegiatan hura-hura doang,
tapi dari liburan kali ini gue bisa dapet banyak makna penting yang buat gue
semakin sadar. Jadi, liburan itu bukan cuma tentang haha-hihi, tapi perlu ada
esensi yang lu dapetin seperti wawasan, pengalaman hidup, dan hal-hal yang
terkadang buat kita semakin paham tentang dunia ini. Dan selama perjalanan ini
gue dapet banyak banget nilai-nilai kehidupan buat gue, semoga temen-temen yang
baca tulisan ini sampai selesai bisa memaknainya dan memahami apa yang gue
dapet dan gue tulis ini hehe.
Para pencari makna 1 |
Para pencari makna 2 |
Komentar
Posting Komentar