Langsung ke konten utama

Kemunculan isu radikalisme dan terorisme di Nusantara



Memasuki awal abad ke-21, dunia internasional kembali dipusingkan oleh kian merebaknya fenomena terorisme, domestik maupun transnasional, yang dalam modus, strategi, maupun pilihan targetnya mengalami metamorphosis yang sangat spektakuler. Aksi terorisme yang semakin mengemuka, mendorong berbagai elemen masyarakat dunia mencari jalan penyelesaiannya. Berbagai studi dan penelitian dilakukan untuk menelusuri faktor yang melatarbelakangi aksi terorisme yang muncul di hampir seluruh dunia. Beberapa intelektual dan peneliti menyimpulkan bahwa faktor pemicu terorisme adalah radikalisme dalam hal ideologi atau agama. Dalam hal ini gerakan kelompok Islam radikal seringkali dituduh sebagai pemicu dan pelaku berbagai aksi teror tersebut.


Di sisi lain, radikalisme adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Namun bila dilihat dari sudut pandang keagamaan dapat diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu pada fondasi agama yang sangat mendasar dengan fanatisme keagamaan yang sangat tinggi, sehingga tidak jarang penganut dari paham/aliran tersebut menggunakan kekerasan kepada orang yang berbeda paham/aliran untuk mengaktualisasikan paham keagamaan yang dianut dan dipercayainya untuk diterima secara paksa. Maka dari konteks tersebut, radikalisme agama berarti, prilaku keagamaan yang menyalahi syariat, yang mengambil karakter keras sekali antara dua pihak yang bertikai, yang bertujuan merealisasikan target-target tertentu, atau bertujuan merubah situasi sosial tertentu dengan cara yang menyalahi aturan agama.

Memang harus diakui, bahwa ideologi agama sedikit banyak berpengaruh terhadap munculnya aksi radikalisme. Teks-teks agama yang ditafsirkan secara atomistik, parsial-monolitik (monolithicpartial) akan menimbulkan pandangan yang sempit dalam beragama. Kebenaran agama menjadi barang komoditi yang dapat dimonopoli. Ayat-ayat suci dijadikan justifikasi untuk melakukan tindakan radikal dan kekerasan dengan alasan untuk menegakkan kalimat Tuhan di muka bumi ini. Aksi radikalisme inilah yang sering mengarah kearah aksi teror.

Pada beberapa dekade belakangan ini, fenomena radikalisme seringkali dimanifestasikan sebagai Islamisme, yakni aktivitas bernuansa agama yang menuntut reposisi peran Islam dalam politik ketatanegaraan. Islamisme di sini sebenarnya sangat kompleks, sehingga tidak bisa dijelaskan hanya dengan membuka sejarah-sejarah masa lalu. Bukan juga hanya dapat dimaknai dengan fanatisme keagamaan yang identik dengan gerakan kekerasan untuk tujuan surgawi. Namun Islamisme tidak dapat terlepas dari gejala perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang menghampiri berbagai belahan dunia Islam.

Di Indonesia sendiri gejala Islam radikal memang bukan hal baru, sebab gerakan ini mulai menggeliat dari era kemerdekaan sampai era pasca reformasi, sehingga gerakan radikalisme Islam di Indonesia mempunyai ikatan historis, karenanya persoalan terorisme yang terjadi belakangan ini di nusantara dengan Islam radikal tidak dapat dipisahkan. Salah satu gerakan yang menginspirasi Islam radikal di nusantara adalah Gerakan Revolusi Iran pada tahun 1979 dengan gerakan Islam Timur Tengah yang dijadikan semacam conceptual framework bagi aktifis Islam Indonesia.

Dalam konstelasi politik Indonesia, masalah radikalisme Islam makin besar karena pendukungnya juga makin meningkat. Akan tetapi gerakan-gerakan ini lambat laun berbeda tujuan, serta tidak mempunyai pola yang seragam. Ada yang sekedar memperjuangkan implementasi syari’at Islam tanpa keharusan mendirikan “negara Islam”, namun ada pula yang memperjuangkan berdirinya negara Islam Indonesia, di samping yang memperjuangkan berdirinya “kekhalifahan Islam”, pola organisasinya pun beragam, mulai dari gerakan moral ideologi seperti Majelis Mujahidin Indonesia dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sampai kepada gaya militer seperti Laskar Jihad, dan FPI.

Kemunculan beberapa orang di Indonesia yang mengklaim bahwa dirinya adalah bagian dari jaringan ISIS dan Al-Qaeda, dimana keduanya menjadi isu global, semakin menegaskan bahwa gerakan Islam radikal di nusantara semakin menggeliat. Dampak dari semakin menguatnya jaringan ISIS dan Al-Qaeda di Indonesia yang berpaham Islam radikal, adalah meningkatnya aksi teror yang terjadi di Indonesia. Maraknya pengeboman di sejumlah daerah yang diklaim disebabkan oleh kedua kelompok tersebut, mengindikasikan bahwa jaringan ISIS dan Al-Qaeda di Indonesia semakin mengakar kuat. Munculnya kelompok ini di Indonesia merupakan format perlawanan global kelompok radikal Islam terhadap ketidakadilan dunia. Hal ini dikaitkan dengan kebijakan miring pemimpin dunia terhadap Palestina, kesenjangan sosial-ekonomi di negara-negara muslim bahkan ekspansi budaya Barat yang dianggap merusak nilai-nilai Islam seperti hedonisme dan materialisme. Para pemimpin dunia Islam dianggap tidak berdaya dan tunduk pada kemauan Barat. Isu tersebut dengan cepat menyebar keseluruh penjuru dunia melalui jaringan maya, bukan saja di negara-negara Islam, tetapi juga di negara-negara Barat sebagai akibat kebijakan banyak negara yang memberikan perlindungan kepada kelompok-kelompok perlawanan yang lari dari negara masing-masing.

Kemunculan gerakan Islam radikal di Indonesia disebabkan oleh dua faktor; Pertama, faktor internal dari dalam umat Islam sendiri yang telah terjadi penyimpangan norma-norma agama. Kedua, faktor eksternal di luar umat Islam, baik yang dilakukan penguasa maupun hegemoni Barat, seperti kasus gerakan Warsidi, Salaman hafidz dan Imron atau yang dikenal sebagai komando Jihad telah membangkitkan radikalisme di Indonesia. Jihad sebenarnya menjadi simbol perlawanan yang efektif untuk menggerakkan perang melawan Barat. Kondisi inilah yang menyebabkan permusuhan yang terus menerus antara Islam dan Barat. Fenomena yang terjadi di Indonesia ketika umat Islam bereaksi terhadap serangan Amerika Serikat pada Afghanistan. Di masa inilah, Islam menemukan moment untuk menyuarakan aspirasi Islam (Solidaritas Islam). Karena itulah, kelompok Islam radikal seperti KISDI, Lakar Jihad, FPI, Ikhwanul Muslimin, dan Mujahidin bergerak menentang penyerangan AS. Bahkan, komando jihad juga dikirim ke Afghanistan sebagai bagian dari tugas suci. Sementara di pihak lain, disinyalir bahwa paham radikalisme ini terjadi karena proses Islamisasi yang dilakukan di kalangan anak muda ini berlangsung secara tertutup, dan cenderung tidak terbuka pada pandangan Islam lainnya, apalagi yang berbeda keyakinannya. Jika pemahaman seperti ini dibiarkan bisa menyebabkan disintegrasi bangsa karena mereka menganggap ideologi pancasila tidak lagi penting.

Di sisi lain, aksi terorisme di Indonesia saat ini memang tengah menurun sejak awal tahun 2000-an. Namun akar terorisme, yaitu radikalisme agama, tetap tumbuh subur dan mendapatkan posisi di sebagian masyarakat. Selain radikalisme agama, aksi teror juga masih berisiko muncul akibat gesekan-gesekan lainnya, seperti anti persatuan, separatisme, dan lain-lain. Aksi teror tersebut bila terus berlanjut akan mengancam terhadap stabilitas politik dan keamanan dalam negeri yang pada gilirannya akan menghambat kelancaran pembangunan nasional. Oleh karena imunitas harus senantiasa mengingat bahwa kita hidup di Indonesia, negeri yang terdiri dari keberagaman. Jika kita tidak bersikap tenggang rasa dan berpikiran terbuka, maka akar-akar radikalisme pun dapat leluasa masuk memengaruhi kita.

Menyadari semakin besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh aksi terorisme dan radikalisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari tragedi pengeboman dan sikap intoleransi beberapa kelompok radikal, merupakan kewajiban pemerintah untuk mengusut tuntas dan menindak tegas aksi terorisme dan radikalisme ini. Dalam penanganan isu terorisme dan radikalisme ini pemerintah memiliki andil yang cukup besar. Pemerintah harus memposisikan dirinya sebagai lokomotif utama dalam pemberantasan aksi terorisme dan radikalisme ini.

Pemerintah sebagai bagian utama dari suatu sistem politik Indonesia harus selalu mempunyai kapabilitas dalam menghadapi kenyataan dan tantangan terhadapanya termasuk dalam menangani isu terorisme dan radikalisme. Kapabilitas adalah kemampuan sistem politik dalam mengatasi pengaruh lingkungan domestik ataupun lingkungan internasional. Maka, dalam perspektif kapabilitas sistem politik, hal yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menangani isu terorisme dan radikalisme adalah sebagai berikut:

a. Kapabilitas regulatif (pengaturan) ialah kemampuan sistem politik untuk mengendalikan atau mengatur tingkah laku individu-individu atau kelompok-kelompok individu yang ada di dalam sistem politik. Dalam hal regulasi, kebijakan pemerintah dalam menanggulangi ekstremisme keagamaan yang merupakan akar radikalisme (religious extremism) dipandang relatif. Secara umum, kebijakan pemerintah tentang pengurangan kekerasan sudah nampak jelas karena kita punya UU anti terorisme. Namun untuk ekstremisme keagamaan belum bisa dikatakan jelas karena jika ekstremisme belum mewujud menjadi tindakan statusnya tidak bisa diapa-apakan oleh hukum kita. Sebetulnya ada mekanisme yang bisa digunakan untuk menanggulangi masalah ekstremisme keagamaan lewat hate speech (kebencian) tapi hukum di Indonesia belum mengatur masalah itu secara khusus. Maka dari itu, pemerintah perlu mengeluarkan regulasi yang secara khusus mengatur tentang ujaran kebencian sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap radikalisasi, karena jika tidak masyarakat akan dengan mudah untuk terprovokasi dan tergiring pada radikalisme. Sementara untuk terorisme, kebijakan negara sudah cukup memadai dengan adanya UU No. 15/2003 yang menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Tetapi, perlu adanya peninjauan kembali UU tersebut untuk mencapai kepastian hukum, menghormati HAM, dan menghindarkan dari regulasi yang diskriminatif tehadap kelompok, etnis, maupun agama tertentu. Di sisi lain, kemampuan institusi negara untuk melaksanakan kebijakan tersebut pada tataran praktik masih perlu penyempurnaan. Kekurangan yang paling jelas misalnya adalah adanya kesenjangan antara teori (kebijakan) dan praktik (implementasi) di samping juga persoalan-persoalan seperti kurangnya sumber daya manusia dan budaya etos kerja yang lemah di kalangan penegak hukum. Oleh karenanya, sekedar regulasi saja tidak cukup, melainkan harus didukung juga oleh semangat yang kuat untuk menumpas terorisme dan radikalisme dari kalangan penegak hukumnya.

b. Kapabilitas responsif adalah kemampuan suatu sistem politik untuk menanggapi tuntutan-tuntutan-tekanan-tekanan, atau dukungan-dukungan yang berasal dari lingkungan domestik maupun lingkungan internasional. Salah satu kunci dari penanganan isu ini adalah pemerintah harus mampu memahami isu terorisme dan radikalisme ini. Dalam berbagai aksi teror yang dilancarkan baik yang dilakukan karena radikalisme ideologi, separatisme, maupun akibat kesenjangan sosial ada tuntutan-tuntutan dan tekanan-tekanan yang diutarakan oleh para pelaku aksi teror. Tuntutan dan tekanan inilah yang harus mampu dipahami oleh pemerintah. Ketika pemerintah mampu mehamai secara dalam dari tuntutan dan tekanan aksi teror tersebut, maka pemerintah akan mampu mehamai juga akar masalah dari aksi-aksi teror tersebut. Sehingga, kedepannya pemerintah mampu mencegah dan menanggulangi aksi teror dan radikalisasi lebih dini dan komprehensif.

c.  Kapabilitas domestik dan internasional yang memperlihatkan keberadaan suatu sitem politik dalam lingkungan domestik maupun internasional. Kemampuan domestik sistem politik Indonesia masih sangat lemah, hal ini ditunjukkan oleh adanya gesekan yang keras antar infrastrukur politik dan suprastruktur politik akibat adanya berbagai pandangan dalam penanganan isu terorisme dan radikalisme. Sehingga muncul kecurigaan antar instansi yang memiliki kepentingan dalam urusan terorisme dan radikalime ini. Pemerintah seharusnya mampu menjadi penengah dari gesekan yang terjadi yakni dengan cara memadukan pandangan yang ada, sehingga penanganan isu ini bisa lebih komprehensif. Sementara kapabilitas internasional pemerintah Indonesia masih perlu ditingkatkan. Isu terorisme dan radikalisme ini telah menjadi isu transnasional, maka penanganan yang dilakukan harus melibatkan banyak negara dan organisasi internasional. Pemerintah Indonesia perlu meningkatkan sejumlah kerjasama dan koordinasi secara simultan melalui langkah represif, preventif, preemtif, maupun rehabilitasi dalam penanganan isu terorisme dan radikalisme baik antar negara maupun dengan organisasi. Kerjasama yang dilakukan bisa berupa penguatan penjagaan perbatasan antar negara, kerjasama antar militer negara, penelitian pencegahan dan penaggulangan teroris, dll.

d. Kapabilitas simbolik merupakan kemampuan untuk membangun pencitraan terhadap kepala negara atau juga rasa bangga terhadap negaranya. Rasa nasionalisme terhadap negara dan bangsa harus selalu diajarkan, pemerintah memiliki tanggung jawab dalam penumbuhan rasa nasionalisme bagi setiap warga negaranya. Maka dari itu, pemberian materi tentang nasionalisme harus diberikan kepada setiap rakyat Indonesia sedari dini melalui sitem pendidikan yang terintegrasi. Sehingga diharapkan pemahaman dasar tentang rasa nasionalisme dapat dikembangkan oleh setiap individu dan dapat membetengi diri terhadap paham radikalisme. Di sisi lain, gaya kepemimpinan kepala negara yang kharismatik akan berdampak terhadap isu penanggulangan radikalisme. Pemimpin yang kharismatik secara simbolik akan menimbulkan rasa kepercayaan terhadap pemerintahan dari lingkungan. Munculnya rasa kepercayaan dari publik terhadap pemerintahnya akan berdampak kepada rasa kepatuhan warga negara terhadap negaranya. Maka, untuk menghindarkan isu-isu terorisme yang disebakan akibat radikalisasi ideologi, kesenjangan sosial dan separatisme perlulah setidaknya negara Indonesia dipimpin oleh pemimpin yang kharismatik, yang menimbulkan rasa kepemilikan warganya terhadap negaranya.

e. Kapabilitas ekstratif adalah kemampuan daripada sistem politik dalam mengelola sumber-sumber material dan manusiawi. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA), pemerintah dituntut untuk mampu mengelola kekayaan alam negara Indonesia tersebut tentunya untuk menyejahterakan kehidupan rakyatnya. Setiap dari warga negara Indonesia berhak untuk hidup sejahtera sebagaimana yang disebutkan dalam dasar negara. Maka dari itu, pemerintah perlu untuk menjadi lokomotif dalam pembangunan persatuan dan kesejahteraan bangsa guna menghindarkan negeri ini dari ancaman radikalisme yang memanfaatkan celah-celah ketidakadilan.

f. Kapabilitas distributif merupakan kemampuan suatu sistem politik dalam mengalokasikan atau mendistribusikan sumber-sumber material dan jasa-jasa kepada individu-individu atau kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat. Pemerintah bertanggung jawab terhadap pengalokasian sumber-sumber material dan jasa-jasa kepada setiap rakyat dimanapun ia berada. Ketika terjadi pemerataan alokasi sumber material dan jasa ke berbagai daerah, maka setiap daerah akan mampu sejahtera, maka isu tentang radikalisme akibat kesenjangan dan separatisme yang menyebabkan aksi teror pun dapat terhindarkan.



Referensi:
Rohaniah, Yoyoh, 2017. Sistem Politik Indonesia : Menjelajahi Teori dan Praktik. Malang : Intrans Publishing.
Asrori, Ahmad. Radikalisme Di Indonnesia: Antara Historisitas dan Antropositas. Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam.
Lele, Gabriel, 2005. Terorisme dan Demokrasi: Masalah Global, Solusi Lokal. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Mustofa, Imam, 2012. Terorisme: Antara Aksi dan Reaksi.  Lampung : Jurnal Ilmiah STAIN Jurai Siwo Metro Lampung.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengaruh lingkungan internasional terhadap kebijakan di Indonesia

Sistem politik merupakan suatu tata cara untuk mengatur atau mengelola bagaimana memperoleh suatu kekuasaan di dalam negara, mengatur hubungan pemerintah dan rakyat atau sebaliknya, pengaturan negara dengan negara, atau negara dengan rakyatnya. Sistem politik pada suatu negara terkadang bersifat relatif, hal ini dipengaruhi oleh elemen-elemen yang membentuk sistem tersebut dan juga faktor sejarah dalam perpolitikan di suatu negara. Salah satu elemen yang membentuk sistem politik adalah lingkungan. Sistem politik di suatu negara sangat dipengaruhi oleh keadaan dalam lingkungannya. Lingkungan mempunyai peranan penting, yakni berupa input, baik itu dalam bentuk tuntutan ataupun dukungan. Melalui teori sistem politik David Easton, menjelaskan lingkungan tersebut terdiri atas intrasocietal dan extrasocietal. Hampir setiap sistem politik akan berinteraksi dengan sistem politik yang lain dalam lingkungan internasional. Namun, lingkungan internasional atau secara teori disebut extrasocieta

Pemberdayaan Gerakan Kepemudaan dalam Mewujudkan Industri Pariwisata yang Menjunjung Kearifan Lokal, Berbudaya, dan Kompetitif

Sebagai negara yang diberikan berbagai macam anugerah, masyarakat Indonesia patut berbangga dan bersyukur. Bagaimana tidak, dengan luas wilayah 1,904,569 km 2 , menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Ditambah dengan lokasi Indonesia di antara dua benua dan dua samudera membuat Indonesia menjadi persimpangan kebudayaan dari Asia dan Australia sehingga Indonesia memiliki beragam kebudayaan dan tradisi. Anugerah tersebut sudah selayaknya menjadi potensi yang tidak ternilai. Dari ujung barat sampai ujung timur Indonesia, tiap-tiap daerah memiliki ragam corak kebudayaan masing-masing yang tidak ada di daerah lain.  Tentunya hal tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi setiap insan di dunia, mengingat Indonesia tiada duanya. Namun, mengingat segala keterbatasan yang ada, Indonesia belum mampu memaksimalkan potensi yang dimiliki, terutama dalam bidang pariwisata. Berbagai permasalahan klasik diduga menjadi penyebabnya. Mulai dari infrastruktur di daerah yang be

Kereta Di Tatar Priangan, Riwayatmu Kini

Warga Jawa Barat patut bergembira, khususnya bagi yang berdomisili di daerah Priangan, karena tidak lama lagi daerah tersebut akan kembali dilalui oleh kereta api. Hal ini diungkapkan langsung oleh Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang baru saja dilantik kurang dari dua minggu. Melalui akun Instagram dan twitter pribadinya, Kang Emil, sapaan akrabnya, mengabarkan bahwa akan ada 4 jalur kereta api yang kembali di reaktivasi. Jalur-jalur tersebut diantaranya adalah Jalur Jakarta-Bandung-Pangandaran, Bandung Ciwidey, Bekasi-Bandung-Garut, dan Bandung-Rancaekek-Jatinangor-Tanjungsari. Tujuan diaktifkan kembali jalur-jalur kereta tersebut adalah untuk mendorong mobilisasi barang dan manusia di Jawa Barat sehingga bisa mendongkrak arus pergerakan ekonomi lebih cepat sampai ke daera-daerah. Di sisi lain, jumlah penduduk Jawa Barat yang hampir mencapai angka 50 juta, atau dua kali lebih banyak dari jumlah penduduk negara Malaysia, memang sudah membutuhkan moda transportasi masal yang